Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya hidayah pun tercurah kepada kita. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi akhir zaman dan penutup para rasul Muhammad bin Abdillah, para sahabatnya dan pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Tujuan hidup setiap insan telah digariskan di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56). Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa ibadah mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang tampak dan tersembunyi.
Dengan demikian, menjadi kebutuhan setiap insan untuk memahami kehendak Allah dan apa-apa yang dicintai dan diridhai oleh-Nya. Dan hal itu telah diterangkan oleh Allah melalui lisan para rasul-Nya dan Kitab suci yang mereka bawa. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36)
Allah telah memberikan petunjuk dan bimbingan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang tetuang dan tertera dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menafsirkan, “Allah telah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.”
Sementara untuk memahami Al-Qur’an, maka tidak bisa lepas dari keterangan dan tuntunan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul itu maka sungguh dia telah menaati Allah.” (An-Nisaa’ : 80)
Maka tidak mungkin memisahkan As-Sunnah dari Al-Qur’an, sebab As-Sunnah atau hadits merupakan penjelas dan penafsir dari ayat-ayat Al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’an) agar kamu menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka itu, dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl : 44)
Oleh sebab itu, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah -sang pejuang aqidah dan pembela tauhid- berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya dia berada di tepi jurang kehancuran.”
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi dari urusan/ajaran rasul itu bahwa mereka akan tertimpa fitnah/malapetaka atau akan menimpa mereka azab yang sangat pedih.” (An-Nuur : 63)
Dari sinilah diketahui betapa pentingnya setiap muslim untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah karena keduanya merupakan dasar dan sumber ajaran Islam. Allah pun berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (An-Nisaa’ : 59)
Para ulama menjelaskan, bahwa yang dimaksud ‘kembali kepada Allah’ adalah dengan merujuk kepada Al-Qur’an, dan yang dimaksud ‘kembali kepada Rasul’ adalah dengan kembali kepada Sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah inilah yang biasa disebut oleh para ulama dengan istilah berpegang-teguh dengan As-Sunnah; sebab yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah seluruh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana istilah As-Sunnah yang disebutkan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu yang sangat masyhur. Di dalam hadits itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan apabila terjadi banyak perselisihan sesudah beliau meninggal untuk berpegang-teguh dengan Sunnah.
Imam Malik rahimahullah berkata, “As-Sunnah adalah perahu Nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya maka dia akan selamat. Dan barangsiapa yang tertinggal darinya maka dia pasti tenggelam/binasa.”
Karena itu pula, para ulama kita mengatakan, “Berpegang-teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.” Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak akan baik keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.”
Di dalam Sahihnya, Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dengan judul Bab. Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Beliau berdalil dengan firman Allah (yang artinya), “Ketahuilah bahwasanya tiada ilah/sesembahan -yang benar- selain Allah, dan mintalah ampunan untuk dosa-dosamu…” (Muhammad : 19) di dalamnya Allah mengawali dengan -perintah untuk- berilmu.
Menimba ilmu As-Sunnah adalah tanda kebaikan dan jalan menuju surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu [agama] maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Imam Ahmad rahimahullah menuturkan, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena sesungguhnya makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”
Dari sinilah diketahui bahwa mempelajari Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebutuhan setiap muslim dan muslimah. Bahkan kebutuhan mereka kepada ilmu itu jauh lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Seandainya manusia berpaling dari ilmu -tidak mempelajarinya, tidak mengamalkannya, dan tidak mendakwahkannya- maka niscaya manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Seperti yang diungkapkan oleh Hasan Al-Bashri rahimahullah, “Kalau bukan karena keberadaan para ulama niscaya manusia sama keadaannya dengan binatang-binatang.”
Akan tetapi perlu diingat kembali bahwasanya hakikat ilmu -yang bermanfaat- adalah ilmu yang membuahkan ketaatan dan rasa takut kepada Allah. Bukan semata-mata wawasan, kepandaian berceramah, menulis, banyaknya hafalan, atau kelihaian dalam berdebat. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi sesungguhnya ilmu itu adalah khosy-yah/rasa takut kepada Allah.”
Sebagian ulama salaf ditanya, “Siapakah orang yang paling fakih/paham agama diantara para ulama di Madinah.” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa diantara mereka.”
Asy-Sya’bi rahimahullah pernah dipanggil, “Wahai ‘alim/ahli ilmu.” Maka beliau mengatakan, “Saya ini bukan orang ‘alim. Sesungguhnya orang ‘alim adalah yang takut kepada Allah.”
Mengenai hal ini, Allah telah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama/orang-orang yang berilmu.” (Fathir : 28)
Ilmu semacam inilah -yaitu ilmu yang menumbuhkan rasa takut dan ketaatan kepada Allah- yang membuat generasi terdahulu umat ini menjadi jaya dan mulia. Simaklah ucapan Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in-, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara mereka semuanya merasa takut kemunafikan menimpa dirinya. Tiada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa imannya seperti keimanan Jibril dan Mika’il.” (disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Sahihnya)
Bahkan, imamnya kaum hunafa’ -ahli tauhid- dan kekasih Ar-Rahman serta bapaknya para nabi yaitu Ibrahim ‘alaihis salam -yang menghancurkan berhala dengan tangannya- pun merasa takut akan keadaan dirinya. Beliau berdoa sebagaimana Allah kisahkan dalam ayat-Nya (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan keturunanku dari menyembah patung.” (Ibrahim : 35). Mengomentari ayat ini, Ibrahim At-Taimi rahimahullah -seorang ulama dan ahli ibadah yang zuhud dari kalangan tabi’in- mengatakan, “Lantas siapakah yang bisa merasa aman dari malapetaka itu -yaitu syirik- setelah Ibrahim -‘alaihis salam-?!”
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwasanya hakikat ilmu dan keimanan yang bersemayam dalam hati seorang mukmin membuat dirinya takut kepada Allah dan senantiasa mengharapkan bantuan dan perlindungan-Nya. Karena siapakah yang bisa melindungi kita dari keburukan dan membantu urusan-urusan kita kalau bukan Allah ta’ala?
Karena itulah seorang beriman akan selalu memendam rasa takut kepada Allah akan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung. Dia takut kalau-kalau gunung itu hancur dan menimpa dirinya…”
Saking besarnya rasa takut salafus shalih kepada Allah ada diantara mereka yang mengatakan, “Kalaulah seandainya dosa-dosa itu memiliki bau -busuk- niscaya tidak ada yang mau duduk dan berteman denganku.”
Dari sinilah kita memahami betapa besar kebutuhan seorang hamba kepada taubat dan istighfar. Karena sesungguhnya setiap anak Adam pasti banyak melakukan dosa dan kesalahan, sedangkan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang banyak bertaubat. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -manusia terbaik dan telah diampuni dosanya- bertaubat kepada Allah setiap hari tujuh puluh bahkan sampai seratus kali, maka bagaimana lagi dengan kita?
Untuk bisa memahami dan meresapi hakikat taubat itu maka seorang muslim harus mengenali dosa dan kesalahannya. Yaitu dia harus menyadari betapa sedikit bekal yang dia miliki untuk menghadap Allah, dan betapa banyak kekurangan dan aib pada amal-amalnya. Di sisi lain, dia melihat begitu banyak nikmat Allah yang tercurah kepadanya dan wajib untuk dia syukuri. Karena itulah para ulama kita mengatakan bahwa semakin tinggi ilmu seorang maka semakin besar pula rasa takunya kepada Allah. Barangsiapa lebih mengenal Allah maka dia lebih takut kepada-Nya. Karena besarnya rasa takut mereka kepada Allah maka mereka pun senantiasa bertaubat dan beristighfar.
Lihatlah, apa yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam surat An-Nashr. Allah berfirman (yang artinya), “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong. Maka sucikanlah dengan memuji Rabbmu dan mohon ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya Dia adalah Maha menerima taubat.” (An-Nashr : 1-3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah menginfakkan umurnya untuk dakwah dan mentarbiyah umat dan mendapatkan berbagai macam tekanan dan cobaan kemudian beliau bersabar dalam menghadapinya. Setelah ini semuanya beliau lakukan dengan penuh keikhlasan, maka pada akhirnya Allah memerintahkan beliau untuk senantiasa memohon ampunan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan demi meninggikan dan memuliakan derajatnya. Karena tidaklah seorang hamba menjadi mulia kecuali dengan semakin menunduk dan merendah di hadapan Rabbnya. Sebab dia menyadari sepenuhnya bahwa apa-apa yang dia persembahkan jauh daripada kesempurnaan. Hak Allah jauh lebih besar dan lebih agung daripada amal yang mereka bisa lakukan.
Dengan demikian ibadah dan penghambaan kepada Allah -yang itu merupakan tujuan hidup setiap insan- hanya akan bisa terwujud dengan memadukan antara kecintaan yang sepenuhnya dan puncak perendahan diri. Kecintaan akan tumbuh dan bersemi dengan senantiasa menyaksikan dan mengingat-ingat sekian banyak curahan nikmat dari Allah. Adapun perendahan diri akan tumbuh dan berkembang dengan cara selalu melihat dan menyadari banyaknya aib pada diri dan amalan. Sehingga di dalam ibadah itu terkandung cinta, takut, dan harapan. Dan itu semuanya tidak bisa didapatkan kecuali dengan bantuan dan hidayah dari Allah.
Oleh sebab itulah setiap muslim di dalam sholatnya berdoa kepada Allah meminta hidayah menuju jalan yang lurus. Dan di dalam sholatnya pula setiap mukmin memohon bantuan dan pertolongan-Nya sebagaimana tercakup dalam ayat yang berbunyi ‘wa iyyaaka nasta’in’ (yang artinya), “Dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah)
Dari sinilah, kita mengetahui betapa besar kebutuhan hamba terhadap ibadah dan ketaatan kepada Allah. Karena ibadah dan ketaatan itulah yang akan membawanya menuju gerbang kebahagiaan dan negeri keselamatan. Dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Aku telah menyiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang salih kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terbersit dalam hati manusia.” (HR. Bukhari)
Dengan ibadah, ketaatan, dan keimanan inilah seorang insan akan menemukan kelezatan bermunajat dan mengabdi kepada-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Malik bin Dinar rahimahullah, “Telah keluar para pemuja dunia dari dunia ini dalam keadaan mereka belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah yang paling nikmat itu wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”
Sebaliknya, dengan kesombongan, kedurhakaan, dan kekafiran itulah manusia akan merugi dan terkungkung dalam siksaan dan kesengsaraan. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira bahwa dirinya telah melakukan yang sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi : 103-104)
Di sinilah dibutuhkan kesetiaan kepada tuntunan/Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keikhlasan dalam menjalankan amal. Karena ibadah tidaklah diterima tanpa keduanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi : 110)
Dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan Aku bersama selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)